Jakarta, Masyarakat harus menjaga dan menyelamatkan demokraksi di Tanah air yang terancam karena lembaga demokrasi tidak bekerja seperti yang diharapkan.
Direktur Eksekutif PUSKAPOL UI, Hurriyah mengatakan elit politik yang tidak demokratis demikian juga Partai Politik, merupakan fenomena politik akhri-akhir ini, mendapat perlawanan dan penolakan, berupa aksi unjuk rasa berkaitan revisi Undang-undang Pilkada.
Baca juga:
Tony Rosyid: Tiga Capres Mulai Adu Gagasan
|
Agenda Revisi kilat Undang-undang Pilkada oleh Baleg DPR untuk meloloskan Kaesang Pangarep, dapat dibatalkan karena aksi demonstrasi yang dilakukan berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa, aktivis baik ibu kota, dan merata di berbagai wilayah tanah air.
"Ada masalah serius di Partai Politik, kata Direktur Riset dan Program Algoritma & Consulting, Fajar Nursahid pada diskusi publik bertajuk Ancaman terhadap demokrasi di Indonesia: Belajar dari pengalaman di negara-negara Asia Tenggara, di Auditorium Mochtar Riady, kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Rabu (04/09/2024).
Ekpresi dan gairah kebebasan publik yang tinggi untuk berpartisipasi dalam demokrasi tidak diimbangi oleh kapasitas lembaga-lembaga demokrasi, sehingga partisipasi publik yang absah seringkali bergulir menjadi tindakan "anti demokrasi".
Demikian pula, lemahnya kontrol masyarakat politik. Belajar dari 2014 dan 2019, "Koalisi Gemuk" pendukung pemerintah (Negara) sejak awal 2014. Tidak bekerjanya "Check and Balances", sehingga menghasilkan UU Minerba, UU KPK, UU Cipta Kerja dan UU KUHP.
Ketidaksetujuan masyarakat terhadap politik "cawe-cawe" presiden Jokowi setelah pencalonan Gibran Rakabuming Raka. Bulan Oktober sebagai penentu. Putusan MK (16 Oktober), Deklarasi Cawapres (22 Oktober), Restu/izin Presiden Jokowi (24 Oktober), (pendaftaran pasangan Prabowo-Gibran (25 Oktober).
"Majunya Gibran Rakabuming Raka dipersepsi publik sebagai bentuk politik dinasti yang dipraktikkan presiden Jokowi. Publik merespon negatif, mayoritas (74, 9%) menyatakan ketidaksukaannya kepada Presiden Jokowi yang membangun dinasti politik".
Hampir 60 persen responden menilai politik cawe-cawe yang dilakukan presiden Jokowi dalam persaingan politik Pemilu 2024, adalah tindakan yang tidak pantas.
Terkait majunya Gibran Rakabunming Raka sebagai calon presiden pendamping Prabowo Subianto, 46, 2% masyarakat menyatakan kekhawatiran netralitas presiden Jokowi dalam Pemilu 2024.
Di mata publik, praktik politik dinasti cenderung dianggap membahayakan demokrasi. (AA)